* Oleh Musyafak
dari : http://suaramerdeka.com
ANCAMAN abrasi di sepanjang kawasan pantai utara (pantura) Laut Jawa makin nyata. Tak terkecuali abrasi Pantai Demak yang berangsur-angsur kian memprihatinkan. Perlu penanganan kolektif dengan pemerintah daerah di sepanjang kawasan pantura.
Selama tujuh tahun terakhir, tren abrasi pantura Laut Jawa di kawasan Demak cenderung naik. Pada 2002 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jawa Tengah mencatat 145,50 hektare pantai di Demak terkikis abrasi. Kerusakan pantai itu makin melonjak lima kali lipat pada 2005, yakni mencapai 758,30 hektare.
Tahun ini belum ada catatan jelas mengenai kenaikan tingkat kerusakan pantai di kawasan Demak akibat abrasi. Namun akhir-akhir ini warga Demak dekat pantai makin santer mengeluhkan dampak abrasi yang menerjang permukiman.
Warga Purwosari, Kecamatan Sayung, misalnya. Tempat tinggal mereka yang berada 5 kilo meter dari bibir Pantai Sayung kini terganggu rob. Air pasang itu sangat meresahkan warga karena datang tak kenal waktu, bisa pagi hari, siang, sore, bahkan tengah malam. Rob juga merendam puluhan tambak yang menjadi pusat pencaharian warga Purwosari.
Sebelumnya, pada akhir 2005, warga Dukuh Tambaksari dan Rejosari Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, direlokasi akibat sering diterjang rob setinggi 1,5 meter. Namun sebagian warga masih tinggal di tengah-tengah rob yang membahayakan.
Harian ini (27/11/2007) mencatat, Kecamatan Sayung menjadi kawasan terparah akibat abrasi pantai di wilayah Demak.
Abrasi telah menggerus pantai sepanjang 1,5 kilometer dengan kedalaman daratan kurang lebih 600 meter. Bahkan, abrasi di kawasan Pantai Sayung telah membentuk teluk.
Parahnya, kini abrasi mendekat ke Jalan Raya Sayung Demak hingga mencapai 32 kilo meter. Hal ini tentu sangat mencemaskan. Di samping terjadi kerusakan lingkungan akibat tergerus daratan, tambak sebagai pusat penghidupan warga turut menjadi korban. Sampai saat ini, lebih dari 300 hektare tambak di Sayung musnah.
Sisi lain abrasi juga merusak infrastruktur lingkungan. Rumah-rumah dan bangunan warga terancam roboh karena digenangi air asin yang ganas.
Yang paling memprihatinkan adalah terjadi peta perubahan ekosistem. Awalnya, abrasi yang disertai pendangkalan pantai akibat sedimentasi material yang terbawa arus gelombang merusak ekosistem pantai. Akibatnya populasi ikan akan menjauh dari bibir pantai.
Hal ini menyulitkan para nelayan saat mencari ikan. Pendangkalan juga menyebabkan air laut tidak dapat masuk ke hulu. Ini sangat merugikan petani tambak maupun nelayan, karena air lautlah yang menjadi inti pencaharian mereka.
Perubahan struktur sosial tak dapat dihindari jika tambak musnah. Sejak kecil pencaharian warga dekat pantai hanya sebagai petani tambak. Mereka hampir tidak punya keterampilan lain kecuali itu.
Reboisasi Bakau
Keterkikisan bibir pantai salah satunya ditengarai oleh rusaknya hutan bakau yang selama ini menjadi pelindung abrasi. Ini tidak lepas dari minimnya kesadaran warga menjaga kelestarian tanaman bakau. Malah sebagian besar tanaman bakau ditumpas warga demi kepentingan sesaat.
Abrasi di wilayah Pantai Demak berkaitan dengan laju pembangunan yang timpang di Kota Semarang. Ini tidak mustahil karena Demak berdekatan dengan Semarang. Reklamasi untuk kepentingan kawasan industri, permukiman, maupun tempat wisata yang terjadi di Semarang berakibat pada naiknya air laut.
Reklamasi sejatinya menyempitkan luas laut hingga air yang tidak tertampung menjadi limpas menerjang daratan di sekitar pantai. Kian derasnya abrasi yang menerjang Pantai Sayung diduga sebagai dampak pembangunan break water di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
Apalagi, kini sekitar 80 persen wilayah pantai di Semarang telah dikuasai (secara legal) oleh pihak-pihak swasta. Kemungkinan terjadinya reklamasi pantai demi kepentingan industri atau usaha perekonomian makin membuka lebar-lebar pintu abrasi. Jika itu terjadi, sepajang pantai di wilayah Demak akan terkena getahnya.
Kian memprihatinkan persoalan abrasi di wilayah Demak, khususnya Pantai Sayung —yang sejatinya telah berlangsung lama— harus ditanggulangi secepat mungkin.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak harus bergerak cepat demi menyelamatkan permukiman, ruang sosial, dan jantung perekonomian warga (tambak).
Salah satu solusi adalah membentuk kembali hutan bakau di sepanjang pantai.
Mangrove adalah tanaman yang tepat untuk didayagunakan sebagai pagar penahan abrasi. Mangrove mempunyai peran ganda selain menahan laju gelombang, yaitu sebagai ekosistem satwa seperti burung di sekitar pantai yang kini mulai punah. Di samping itu, mangrove juga berpotensi besar menjadi kawasan wisata alam jika sudah besar dan rindang.
Agar berjalan optimal, reboisasi pantai selaiknya disinergikan dengan membuat sabuk pelindung pantai dari hantaman gelombang. Juga untuk menangkap sedimentasi material yang terbawa arus gelombang. Sabuk pelindung ini dapat dibuat dari beton. Atau membuat tanggul berususun batu yang dililit jala-jala kawat.
Sinergitas sabuk pantai tersebut sebenarnya (hanya) difungsikan sebagai pelindung atas mangrove yang baru ditanam. Jika tidak dilindungi, maka bibit-bibit mangrove itu kemungkinan kalah oleh gelombang keras yang menerjang.
Mengingat tanaman bakau itu memerlukan jeda waktu cukup lama untuk tumbuh-berkembang. Bahkan, untuk berfungsi optimal sebagai penahan abrasi dan erosi pantai, mangrove membutuhkan paling tidak 15-25 tahun.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) tidak boleh menutup mata atas masalah ini. Mustahil Pemkab Demak dapat menanggulangi abrasi yang kian mengikis pantai secara sendirian. Karena abrasi yang melanda pantai di wilayah Demak mempunyai keterikatan dengan abrasi yang terjadi di daerah lain sepanjang pantura.
Pemprov Jateng selaiknya menjadi koordinator penangan abrasi secara kolektif yang melibatkan Pemkab Pemalang, Tegal, Brebes, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Pati, dan Rembang. Mengingat daerah-daerah itu kini juga tengah terancam abrasi.
Bahkan —benar yang dikatakan Bupati Demak Drs H Tafta Zani MM— rob dan abrasi yang terjadi di Demak harus ditangani secara komprehensif oleh pemerintah pusat.
Karena abrasi di wilayah Demak berkaitan dengan abrasi yang terjadi di wilayah Jateng yang kini kira-kira mencapai 6.500 hektare. Abrasi ini pantas dikategorikan sebagai bencana nasional. (35)
—Musyafak, warga Demak, pemimpin redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat Semarang
0 comments:
Post a Comment